Kamis, 31 Juli 2008

BELAJAR MA’RIFATULLAH

Pendahuluan
  • Umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam semesta
  • Dari Polytheisme menjadi Monotheisme
  • Keyakinan tentang Keesaan Allah SWT (QS Fathir 35 : 30 & 15 serta QS Yusuf 12 : 39)
Siapa atau Apa Tuhan itu?
  • Al Qur’an tidak menguraikan tentang Wujud Tuhan
  • Al Qur’an hanya mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan dan hal tsb merupakan fitrah bagi setiap manusia sejak asal kejadiannya (QS Al-Rum 30 : 30 dan Al-A’raf 7 : 172)
  • Hadis Qudsi : Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku berkehendak untuk dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku
Definisi Iman
  • Iman pada umumnya diterjemahkan sebagai “kepercayaan” atau “ketaatan”
  • Definisi iman menurut DR. M. Husaini Behesyti adalah kepercayaan yang tulus kepada seseorang atas suatu prinsip

Iman kepada Allah SWT
  • Rukun Iman ada 6 perkara (Iman kepada Allah SWT, Malaikat2-Nya, Kitab2-Nya, Rasul2-Nya, Hari Akhir & Qadha-Qadhar-Nya)
  • Kewajiban yang pertama bagi manusia adalah mengenal Allah SWT dengan sepenuh keyakinan
  • Pokok dan dasar agama adalah mengenal dan memahami sebenar-benarnya Tuhan yang disembah, sebelum melakukan ibadah
  • Iman kepada Allah SWT mencakup pengesaan Allah SWT dalam tiga hal : rububiyyah, uluhiyyah dan al asma wash-shifat
  • Tauhid rububiyyah adalah meyakini dengan mantap bahwa Allah SWT adalah Rabb segala sesuatu dan tiada Rabb selain Dia
  • Tauhid uluhiyyah adalah keyakinan yang mantap bahwa Allah SWT adalah Ilah yang benar dan tidak ada Ilah selain Dia serta mengesakan-Nya dalam beribadah (pengabdian)
  • Tauhid asma wash-shifat adalah meyakini secara mantap bahwa Allah SWT menyandang seluruh sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan dan bahwa Dia berbeda dengan seluruh makhluk-Nya
Ma’rifatullah
  • Sabda Rasulullah SAW, “Saya – Ya Allah – tidak menjangkau pujian untuk-Mu dan mencakup sifat-sifat ketuhanan-Mu. Hanya Engkau sendiri yang mampu untuk itu” (H.R. Ahmad)
  • Sahabat Abubakar Asshidiq ketika ditanya “Bagaimana Engkau mengenal Tuhanmu”? Beliau menjawab “Aku mengenal Tuhan melalui Tuhanku. Seandainya Dia tak Ada, Aku tak mengenal-Nya”. Selanjutnya ketika beliau ditanya, “Bagaimana Anda mengenal-Nya?”, Beliau menjawab,” Ketidakmampuan mengenal-Nya adalah pengenalan.
  • Sahabat Ali bin Abi Thalib RA pernah ditanya oleh sahabatnya Zi’lib Alyamani, “Wahai Amirul Mukminin, Apakah Engkau pernah melihat Tuhanmu?”. Jawab Ali RA, “Apakah aku menyembah apa yang tidak kulihat”. “Bagaimana Engkau melihat-Nya”. Ali RA pun menjawab lagi, “Dia tidak dapat dilihat dengan pandangan mata, tetapi dijangkau oleh akal dengan hakekat keimanan”.
  • Al-Ghazali sebelum menjawab pertanyaan adakah jalan yang dapat ditempuh untuk mengenal Allah SWT? Dia memberi contoh lebih kurang sebagai berikut : “Seandainya seorang anak atau seorang impoten bertanya bagaimaina caranya mengetahui nikmatnya –maaf- hubungan seks serta apa hakekatnya?”, maka ada dua jalan untuk menjelaskannya. Pertama, menggambarkan kepadanya hubungan seks sampai dia mengetahuinya; dan Kedua, memintanya untuk bersabar sampai ia mampu melakukan hubungan seks dan merasakan nikmatnya. Cara yang kedua inilah yang mengantar kepada pengenalan yang sempurna. Adapun yang pertama, maka ia tidak mengantar kecuali kepada perkiraan yang rapuh.
  • Mengenal Allah SWT pun demikian menurut Al-Ghazali. Ada dua jalan untuk mencapainya, yang pertama terbatas, dan yang kedua buntu. Yang terbatas adalah dengan menyebut nama dan sifat-sifat-Nya. Caranya adalah memberikan nama / perumpamaan dari diri kita dan apa yang kita kenal.

Tingkatan-tingkatan Ma’rifatullah
  • Siapa yang mendengar nama-nama Allah SWT, memahami dari segi bahasa tafsiran dan sifatnya serta meyakini bahwa makna tersebut wujud di sisi Allah SWT, maka sebenarnya dia baru mendapat bagian yang sedikit, dan masih rendah tingkatannya, tidak wajar baginya berbangga dengan apa yang dimilikinya.
  • Pengetahuan tentang makna nama-nama Allah SWT yang indah itu, dalam bentuk ‘mukasyafah’ (terbukanya tabir penutup) dan ‘musyahadah’ (disaksikan dengan pandangan mata hati yang bersih)
  • Merasakan keagungan dari apa yang diketahui pada tingkat pertama, sehingga mendorong mereka menjadi berbudi pekerti luhur, dengan sifat-sifat Yang Maha Agung itu agar mereka mendekat kepada-Nya
  • Upaya sungguh-sungguh untuk meraih sifat-sifat Ilahi itu, menghiasi diri dan berakhlah dengannya, sehingga ia menjadi seorang ‘Rabbany’ dan ketika itu yang bersangkutan menjadi teman para malaikat
Kesimpulan
  • Ketidakmampuan mengenal Allah SWT adalah pengenalan kepada-Nya memang demikianlah adanya, namun apakah dengan demikian persoalan telah selesai?
  • Jelas tidak, karena kita ingin berinteraksi dengan-Nya, kita tidak hanya ingin patuh, tetapi juga kagum dan cinta serta ingin meneladani akhlak Allah SWT dan menghiasi diri dengan makna sifat-sifat dan Asma’-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari.
  • Dengan mengenal Allah SWT, seseorang akan berbudi pekerti yang sangat luhur, karena keindahan sifat-sifat-Nya akan melahirkan optimisme dalam kehidupannya sekaligus mendorongnya berupaya meneladani sifat-sifat tersebut sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya sebagai makhluk
Daftar Pustaka
  • Al Qur’an
  • Behesyti, Muhammad Husaini., Mencari Hakikat Agama, 2003, Alih bahasa Abdullah Ali, Penerbit Arasy, Bandung
  • Habib Usman bin Yahya, Awaluddin : Sifat Dua Puluh, 1324 H, Penerbit S.A. Alaydrus, Jakarta
  • Shihab, Quraish., Menyingkap Tabir Ilahi, 1998, Penerbit Lentera Hati, Jakarta
  • Shihab, Quraish., Wawasan Al-Quran, 1996, Penerbit Mizan, Jakarta
  • Yasin, Muhammad Yasin., Iman, 2002, Alih bahasa Tate Qomaruddin, Penerbit Asy-Syaamil, Bandung

Tidak ada komentar: